Selasa, 17 April 2018

ANGIN KENCANG DI BUMI RAFFLESIA


Angin laut bumi rafflesia masih berhembus kencang. Seperti gerimis, pinus mengugurkan daun
Jatuh di pasir putih sepanjang pantai impian kita. Jika hari ini turun hujan. Derainya masih memintal kenangan-kenangan. Ketika langit di atas marlborough berwarna biru, aku ada di antaranya, bertatah bersama mega
Duh 

Aku tak pernah duga badai samudera hindia berhembus kencang meluluhlantakkan kebun bunga yang baru kusemai, terkikis hingga ke akar. Tinggalah ranjau-ranjau yang menyakiti. Menghujam langit anganku, menikam bumi harapku, duh!

Mampukah aku berdiri di astha tahun berbilik jeruji, di kelam pengasingan sendiri, menunggu pintu terkuak membawa angin kebebasan? Duh!

/Bengkulu, 10 Januari 2018

Ctt. Keputusan pengadilan negeri Bengkulu_ 8 tahun penjara pada gubernur non aktif bersama istrinya.

#KPK_bangkit
#PMK_TerusBergerak

PULANGLAH *doa untuk Tara


Hembusan angin dari samudera hindia terasa dingin. Membekukan darah, melumpuhkan sendi. Laut seakan paham tentang duka. Tak ada ombak yang membuncah seperti hari-hari lalu. Di timur, camar kehilangan lengking. Pinus kehilangan desir. Pasir kehilangan angin.

Kembang rafflesia berubah kuntum menjadi kamboja. Jatuh lesu di tanah merah. Tanah yang menyimpan keabadian, tanah yang tak mampu mengubur pilu tentangmu, duhai anyelir yang baru tumbuh.

Dikejauhan, tembang tentang Putri Gading Cempaka lamat-lamat menjadi tangis yang paling sayat. Mengoyak seisi rongga dada. Meremuknya menjadi perahan darah yang tak lagi berwarna merah. Engkau pergi, membawa sejuta duka.

Pada langit yang berwarna abu-abu, dan hujan yang datang tiba-tiba, berubah menjadi tangis membasahi tiap gurun, lembah, dan bukit. Hanya sebilah tonggak kecil sebagai penyanggah, menopang jiwa untuk selalu berzikir. Menepis tak pada sebait takdir.
Di pucuk pandan berduri, biarkan doa-doa meliar sepanjang pantai.
Mengantar tenang tidurmu untuk kembali keharibaan Sang pemilik hidup.


/Bengkulu, 07022018

Ctt. Doa untuk Auzia Umi Detra (Tara), gadis belia dari bumi Rafflesia (Bengkulu), wafat dibunuh orang yang sangat dikenalnya. Jenazahnya ditemukan setelah beberapa hari menghilang, dalam keadaan sagat mengenaskan di semak belukar hutan bakau Lentera Merah Pulau Baii Bengkulu. Bengkulu kembali menangis. Semoga keluarga tabah menghadapi cobaan yang maha dasyat ini.
Selamat jalan Tara, doa selalu menggunung untukmu. Semoga engkau pulang dalam keadaan Husnul khotimah. Al Fatiha


Antologi The First Drop of Rain


JUKUNG YANG MENULIS BARITO

Hoiiii..lepaskan jukung dari tambangan. Hilirkan ke sungai. Jauhkan dari huluan, jauhkan dari Pangeran Tumenggung si Raja Daha yang berhati batu. Biarkan Barito menjadi saksi tentang perjalanan anak manusia menuju tapa ngeli; Raden Samudr"

Suara Arya Taranggana pecah
Mengaduk-ngaduk isi sungai yang berair keruh
Membiarkan ikan hadungan dan sanggang berenang riang
Mengejar buritan jukung yang gemetar
Pelan-pelan jukung kayu lanan menghilir
Terus menghilir
Menyisir arus, menembus hujan yang datang tiba-tiba
Menitipkan derainya pada awan
Lalu pecah dan memercik

Pandangan senyap menyapu atap-atap sirap dan daun rumbiah
Membumbung di rumah-rumah lanting berdinding kayu
Mengapung di atas gelondongan sepanjang sungai
Lanting berayun dan terus berayun.
Barito melantunkan gerak sejarah, terdampar di kampung Banjar

Di muara Kuin, lima sungai kecil berkelindan
Angin mencium aroma kehidupan
Seperti tangkai-tangkai padi yang meruduk
Raden Samudra menjadi pembuluh nadi di urat seribu sungai
Ayunan jukung di atas air, selayak gairah menggoreskan satu peradaban
Sejarah telah menyupil di rawa-rawa Borneo
Di tangan Raden Samudra
Banjarmasin menjadi negeri bersejarah


/Lubuklinggau, 05112017
________

MENGGENGGAM RINTIK

tanah kuning yang merintih tanpa rumput
tak pernah mengeluh
ia lukis rinduku pada batang-batang berdaun merah
lalu gugur satusatu ketika angin mencandanya
di bawah langit abu-abu
ruh di dadaku menggunung
angin yang menggenggam rintik
tes
tes
tes
lalu menggenang
menjadi kolamkolam
setangkai doa kularungkan
berlayarlah
sampaikanlah
tentang rinduku yang gigil
menjadi hujan pagi di tepi laut itu
bau tubuhmu menguap di antara cemara tanpa kembang
menggilas jalan kering anganku di Sarang Tiung
aku masih ingin menjemput mimpi
menggulirkannya di lereng bukit yang menghadap ke laut
lalu membiarkan bau peluhmu hanyut
angin yang menggenggam rintik
tes
tes
tes
menyimpan seribu kenang tentangmu
menjadi embun-embun di helai daun
dan rindu padamu
makin menceruk ingin


/Lubuklinggau, 5 November 2017
____________

MUSIM

Entah berapa kali harus kujemput mimpi
Meski rinai akan selalu turun
Membasahi kerudung sasirangan berwarna ungu kesukaanmu
Di antara dingin yang menggigit
Kupungut binar matamu yang berwarna coklat

Ada geliat menguyupkan risauku
Menjadi hujan yang berpeluh

“Musim memang tak pernah berdusta” katamu
Aku jauh menatapmu

Selembar daun damar jatuh menyentuh sudut bibir
Menjemput rindu bersamamu
Tumbuhlah luka-luka di dada
Mengalirkan perih
Menjadi siring-siring kecil
Lalu merongga di kepala
Kubiarkan ujung hujan yang lancip menari sediri
Melukis pelangi berlapis sepuluh

Yang paling atas berwaran pekat
Jatuh di jalan setapak bersemak
Batu-batu yang menonjol ke permukaan tanah
Seperti anakanak pulau yang samar
Menyapa untuk sejenak singgah menjatuhkan pantat di punggungnya
Lalu menancapkan mimpi
Merinaikannya kembali
Ah, perih

/Lubuklinggau, 04112017

BOCAH ANGON



Memungut sekerat daun lontar, ada aksara purba membawa imajinasiku
jauh menyusup di lerenglereng, di lembah-lembah, di hamparan edelweis 
sang kembang keabadian; Papadayan. Dan cerita yang mengakar 
Banteng Loreng Binoncengan, Tegal

Salahkah jika kukatakan engkau adalah di antara bocah angon itu? 
Berperawakan lemah lembut seperti cahaya fajar. 
Bersikap sabar seperti malam menunggu pagi, penuh kasih dan sayang 
seperti embun yang menjilat daundaun kenari. Engkaulah itu, 
si bocah angon yang menyeruak di antara terik matahari. 
Meredam gejolak sadarku pada tiap pelepah kehidupan. 
Menjadikannya dayung mengarungi laut kehidupan; Nur

Bidara laut membenam di pasir
Seperti angin di Pantai Larangan
Hilir mudik menyapa riang
Anakanak pantai berlari saling kejar
Di kaki langit seluet bayangmu melengkung
Jatuh di basa ampas kopi
Menyisakan manis di bibir lembutku: Nur

/Lubuklinggau, 21032017

DI DALAM KERETA (Cerita pada Nurngudiono)



Nur
Di dalam kereta
Bentangan sawah berkejaran
Kubiarkan melesat
menggapai ujung daun yang tumbuh subur di ladang rasa
: aku rindu padamu, Nur
Tegal Keminclong Moncer Kotane seperti rapal yang turun dari langit
Kupetik satu bintang untukmu
Berkediplah cahaya kisah-kisah
Aku menatap wajahmu semakin jauh
Menembus demensi waktu yang entah

Oh, Nur
Di sisi jendela kereta menuju kotamu
Daun-daun mekar mengurai kerinduan
Kutemukan awan-awan yang berkisah
Tentang gemulai dan lentik jarimu
Rinduku seperti sintren yang meniti gending
Merapal mantra-mantra kesetiaan
Seperti Sulasih dengan Sulandono
Menggulung Kali Gung
Menyemai Kali Erang
Menggiring rindu dan kesetiaan: padamu


/Lubuklinggau, 21032017


NYANYIAN HUJAN (pada Dimas Mihaedja)



Jika angin yang berkesiur dapat kuhentikan
Aku ingin ia pergi jauh
Menggantinya dengan kicau prenjak
Bercerita tentang senja berwarna jingga
Mengusir kabar tentang kepergianmu

Dulu, engkau katakan air laut yang bergejolak
Tak ubah seperti debur jantung
Ketika pelan-pelan asinnya tak lagi bisa engkau rasakan
Senja yang temaram
Berpendar di cahaya lampu taman
Rautmu yang lelah
Dan sungging hambar di mata
Mematik kobar
Memuntahkan segala pengandaian;

"Sebentar lagi aku akan pulang. Warna langit sudah semakin berat menata angin. 
Hujan akan tercurah. Tapi yakinlah, lamat-lamat bumi akan hening. 
Lalu menguapkan sepi yang paling sunyi; kematian" ujarmu di bawah akasia yang baru kembang

Derai tawa tumpah ketika itu
Entah untuk siapa
Di bilik kerut yang berlapis
Matamu mengeryit;

"Seorang penyair harus pandai merangkai kata
Bahkan kentutnya pun wajib jadi puisi
Biarkan semua hidung mengendusnya, pertanda kentutmu punya arti"
katamu
Ahai!

Ah, malam ini aku jadi sangat rindu
Nyanyian hujan yang kau puisikan
Adalah isyarat serangkai tangis
Menuju rumah keheningan
Biarlah dekur merpati
Menjadi rahasia yang harus kupecahkan
Karena engkau tak sempat menjelaskan

/05042018



#SelamatJalan penyair Indonesia, Prof. Dr. Sudaryono Dimas Arika Mihardja Qi Cuex. Sahabat, guru, ayah yang ramah, humoris, dan baik hati.
*Semoga Allah SWT ampunkan segala hilaf dan dosanya, dilapangkan alam kuburnya, diberikan kesabaran sanak keluarganya. Dan husnul khotimah.
Al Fatihah.

ANGIN YANG MEMUTINGKAN RINDU


Nay, laut Kualo masih seperti dulu
beriak dan menganakkan ombak
pantainya yang berpasir
dihiasi desir buih selalu mengulumnya
seirama degup jantungmu jantungku

kukejar bayangmu berlari di bawah purnama
meski tiga dasa berlalu, masih saja mengonak rindu
kubaca tapak kakimu kakiku menyulam pasir
berenda kecil bekas anak ketam kenari yang berlari
menyusup ke lubang-lubang sepanjang pantai

angin memuting berlarian di antara cemara yang julang
bayangmu menari, hinggap di daun nyiur sedikit kuncup
di atas-atap rumbia, ke rawa-rawa kecil, di sela rumput
sejenak menjilat gelombang, melempar buih lalu lesap di pasir

nun di ufuk, kemukus berkedip
menghiasi lengkung langit yang berombak
dikejauhan perahu nelayan selayak serpihan kayu yang ditarah
kelap-kelip berpendar di riak air, melempar cahaya

masih saja aku kelilipan rona
pada pendar cahaya lambaimu yang menggapai
sebaris air berasa asin bermuara di sudut mata
menggarami laut, ombak, perahu, pasir, cemara
atap-atap rumbia, hingga ke rawa
engkau kembali menunas menghijaukan daun rinduku
membangunkan kuncup bunga, meranumkan buahnya
ah, bayangmu tak luput
seumpama tunas, engkau hijaukan dedaunan
membangunkan kuncup bunga, dan memasak buah-buah rindu
tangan hendak menggapai untuk menyelam
pada memecah hening

2017


(DIMUAT DALAM BUKU PUISI NEGERI BAHARI)