JUKUNG YANG MENULIS BARITO
“
Hoiiii..lepaskan jukung dari tambangan. Hilirkan ke sungai. Jauhkan
dari huluan, jauhkan dari Pangeran Tumenggung si Raja Daha yang berhati
batu. Biarkan Barito menjadi saksi tentang perjalanan anak manusia
menuju tapa ngeli; Raden Samudr"
Suara Arya Taranggana pecah
Mengaduk-ngaduk isi sungai yang berair keruh
Membiarkan ikan hadungan dan sanggang berenang riang
Mengejar buritan jukung yang gemetar
Pelan-pelan jukung kayu lanan menghilir
Terus menghilir
Menyisir arus, menembus hujan yang datang tiba-tiba
Menitipkan derainya pada awan
Lalu pecah dan memercik
Pandangan senyap menyapu atap-atap sirap dan daun rumbiah
Membumbung di rumah-rumah lanting berdinding kayu
Mengapung di atas gelondongan sepanjang sungai
Lanting berayun dan terus berayun.
Barito melantunkan gerak sejarah, terdampar di kampung Banjar
Di muara Kuin, lima sungai kecil berkelindan
Angin mencium aroma kehidupan
Seperti tangkai-tangkai padi yang meruduk
Raden Samudra menjadi pembuluh nadi di urat seribu sungai
Ayunan jukung di atas air, selayak gairah menggoreskan satu peradaban
Sejarah telah menyupil di rawa-rawa Borneo
Di tangan Raden Samudra
Banjarmasin menjadi negeri bersejarah
/Lubuklinggau, 05112017
________
MENGGENGGAM RINTIK
tanah kuning yang merintih tanpa rumput
tak pernah mengeluh
ia lukis rinduku pada batang-batang berdaun merah
lalu gugur satusatu ketika angin mencandanya
di bawah langit abu-abu
ruh di dadaku menggunung
angin yang menggenggam rintik
tes
tes
tes
lalu menggenang
menjadi kolamkolam
setangkai doa kularungkan
berlayarlah
sampaikanlah
tentang rinduku yang gigil
menjadi hujan pagi di tepi laut itu
bau tubuhmu menguap di antara cemara tanpa kembang
menggilas jalan kering anganku di Sarang Tiung
aku masih ingin menjemput mimpi
menggulirkannya di lereng bukit yang menghadap ke laut
lalu membiarkan bau peluhmu hanyut
angin yang menggenggam rintik
tes
tes
tes
menyimpan seribu kenang tentangmu
menjadi embun-embun di helai daun
dan rindu padamu
makin menceruk ingin
/Lubuklinggau, 5 November 2017
____________
MUSIM
Entah berapa kali harus kujemput mimpi
Meski rinai akan selalu turun
Membasahi kerudung sasirangan berwarna ungu kesukaanmu
Di antara dingin yang menggigit
Kupungut binar matamu yang berwarna coklat
Ada geliat menguyupkan risauku
Menjadi hujan yang berpeluh
“Musim memang tak pernah berdusta” katamu
Aku jauh menatapmu
Selembar daun damar jatuh menyentuh sudut bibir
Menjemput rindu bersamamu
Tumbuhlah luka-luka di dada
Mengalirkan perih
Menjadi siring-siring kecil
Lalu merongga di kepala
Kubiarkan ujung hujan yang lancip menari sediri
Melukis pelangi berlapis sepuluh
Yang paling atas berwaran pekat
Jatuh di jalan setapak bersemak
Batu-batu yang menonjol ke permukaan tanah
Seperti anakanak pulau yang samar
Menyapa untuk sejenak singgah menjatuhkan pantat di punggungnya
Lalu menancapkan mimpi
Merinaikannya kembali
Ah, perih
/Lubuklinggau, 04112017