Kamis, 23 Oktober 2014

CERITA

adalah cerita
yang mengusang pada tiap kelopak
ketika satu-satu berguguran

putikpun gelisah
tumbuh didesau ilalang yang merisik
melumpuhkan segenap sendi
melumpurkan semua mimpi
nelesap ke dasar petang

akankah setiap jenjang terlewati
sementara liku yang menanjak makin meninggi?


19/10/2014

CERITA PADA HWANTING





Hwanting! Sungai Pan Jang ini akan menjadi saksi, tentang asa, tentang mimpi, tentang cinta, tentang anakanak yang akan lahir menjadi puisipuisi kejujuran menghayut di arus waktu dan mendamparkannya

semua membenih

Hwanting! telah kukalungkan ganitri,  bersama menangkupkan tangan  di dada. Jelang hamparan padang ilalang  yang menyanyikan tentang sunyi yang menirwana, lalu melebur dalam anakanak kata, memuisi puisi  warnawarna.

Hwanting! Burungburung tak henti berkicau kala tetabuh tambur dan canang di bunyikan kematian seakan  mainan  ketika dua ruh menyatakan diri bersetia di tengah  medan pertempuran yang paling  hebat. Merebut kemenangan dalam kekalahan yang tak tahluk
Oh! Hwanting! Bawalah aku ke negerimu yang hijau. Konon berlapis beludu beraroma teh. Kuingin merebah meski sejenak saja



/15092014

AKU TAKUT





jiwapun mengombak meniti gelombang
menarikan rindurindu membuih di tiap sudut 
menghujam jantung hati 
mendidihkan darah 
membarakan rasa
aku takut

anginpun  bersiur  menelisik waktu
memutikmutikan gelisah   
membungakannya
mendesau di nadi  
mengupas angan menetaskan risau
aku takut

malampun mengelam
mengeratngeratkan sepi
membungabungakan mimpi  
menuntun langkah terhuyung  menuju tepi  pagi
ah, aku takut!

aku takut derai ombak menghanyutkanku hingga ke laut
aku juga takut pada angin lalu menghempaskan aku jadi debu

aku takut pada takut (ku)


/Lubuklinggau, 1910214

KUINGIN




kuingin berlari di kencang angin
bersama mendesau  melintas segara bukit dan gunung
menghempaskannya di cadas
atau melembahkannya

kuingin mengalir di kencang arus
bersama menghilir meliuk di lerenglereng
beradu di muara
atau menelagakannya

kuingin dedaun mencatat segala risau
pada tiap  helai lalu menguningkannya
esok pun kuingin hujan  melembabkannya
nelesap ke tanah hingga semua tak berupa


/Silampari, 18 Oktober 2014

KEMARO YANG HENING




Tuan Tsing!! Kukayuh perahu menuju dusun kecilmu, yang memencil kecil, memulau di Musi, tempat Hwanting dan Mahisa melabuhkan hati, merangkai cinta  pada pucukpucuk pagoda yang menangga

Tuan Tsing! Kemana pasir berbatu yang menghampar di sini? Ingin kubaca  tuah  guru Hyang yang menjemput nirwana bersama Bhatara Indra,  konon  mencipta  istana di empat pertemuan sungai bermuara 

Tuan Tsing! Bawa aku ke sana. Jangan biarkan ornament yang  meliar menyaksikan galauku mengombak di rumput kering, lalu mendamparkannya di sisi Kemaro. Membaca riak Musi,
membaca bidukbiduk, membaca pohonpohon,  pasirpasir,  menapabharatakan diri  berabad lamanya


Ah, Tuan Tsing!
langit menghening.
angin memusing
pasir mengering
musi tak bergeming


Tuan Tsing!
kau kubur aku pada hening yang paling


/Palembang, 15092014

I TSING





“I Tsing!!  Melajulah dengan perahumu. Jemputlah Budhis bersama sang maha guru  Sakyakirti.  Ukirlah masa pada apa saja tentang seribu pendeta yang meriap di  taman Nalanda bersama Balaputradewa. Canangkan pada tiang-tiang viara warna-warna tiongkok kampung leluhurmu, hiasi bubungannya dengan sepasang naga lambang kewibawaan dan tuah negerimu”

suara  gelisah itu hilang tenggelam di Muci yang menghilir
segelisah peradaban yang menyampah hingga ke muara
mengubur nilai Nalanda dalam lacak Muci yang makin tebal
berkilang limbah dan asap pabrik yang menguap
membunuh tempalo, lais, baung, patin, dan belido
“I Tsing!! Apa yang telah kau catatkan tentang Sriwidjaya? Setelah berlusin  purnama kau lapiskan. Sudahkah kau ukir pada batu,  kayu, pada daun nipah, daun lontar, tentang Dapunta Hyang Sri Jayanasa  sang penakhluk yang berlayar ke  selat Malaka, selat Sunda, laut Cina Selatan, hingga  selat Karimata? Sudahkah kau titipkan pada manyar-manyar putih tentang ekspansi Sriwidjaya ke Jawa, dan  Semenanjung Malaya, dan masyur  di Asia Tenggara?”
suara  mengabar itu makin sayup;
kami terlalu sibuk dengan urusan  negeri ini
kami bunuh sejarah 
kami kunyah, kami telan, kami buang di pelambahan
bahkan kami tapakan  dawai Pai Li Bang di malam hari
yang dulu kerap  dilantunkan gadis dan bujang Pelembang di jembatanmu yang panjang

I Tsing
kupinjam tanganmu sejenak saja
demi mencatat perjalanan sejarah yang kehilangan wajah
  
/Palembang,15 September 2014

Catatan:
Muci= sebutan Musi orang Tiongkok
tapakan=mengasapkan/mengeringkan
Pelembang = Palembang
Pelambahan = tempat pembuangan sampah