“I
Tsing!! Melajulah dengan perahumu. Jemputlah Budhis bersama sang maha
guru
Sakyakirti. Ukirlah masa pada apa saja tentang seribu pendeta yang
meriap di taman Nalanda bersama Balaputradewa. Canangkan pada tiang-tiang
viara warna-warna tiongkok kampung leluhurmu, hiasi bubungannya dengan sepasang
naga lambang kewibawaan dan tuah negerimu”
suara gelisah itu hilang tenggelam di Muci
yang menghilir
segelisah peradaban yang menyampah hingga ke
muara
mengubur nilai Nalanda dalam lacak Muci
yang makin tebal
berkilang limbah dan asap pabrik yang menguap
membunuh tempalo, lais, baung, patin, dan
belido
“I Tsing!! Apa yang telah kau catatkan tentang Sriwidjaya?
Setelah berlusin purnama kau lapiskan. Sudahkah kau ukir pada batu,
kayu, pada daun nipah, daun lontar, tentang Dapunta Hyang Sri Jayanasa
sang penakhluk yang berlayar ke selat Malaka, selat Sunda, laut
Cina Selatan, hingga selat Karimata? Sudahkah kau titipkan pada
manyar-manyar putih tentang ekspansi Sriwidjaya ke Jawa, dan Semenanjung
Malaya, dan masyur di Asia Tenggara?”
suara mengabar itu makin sayup;
kami terlalu sibuk dengan urusan negeri
ini
kami bunuh sejarah
kami kunyah, kami telan, kami buang di pelambahan
bahkan kami tapakan dawai Pai
Li Bang di malam hari
yang dulu kerap dilantunkan gadis dan
bujang Pelembang di jembatanmu yang panjang
I Tsing
kupinjam tanganmu sejenak saja
demi mencatat perjalanan sejarah yang
kehilangan wajah
/Palembang,15 September 2014
Catatan:
Muci= sebutan Musi orang
Tiongkok
tapakan=mengasapkan/mengeringkan
Pelembang = Palembang
Pelambahan = tempat
pembuangan sampah