Rabu, 13 Februari 2013

SEBAIT PUISI KAMPUNG LAHIRKU




Senyum yang menyembul di ufuk timur
tak seberapa hangat menyapa
berbeda
kala wajah bersahaja belum berlumur liat tanah

kurenda doadoa
kuhembus pelan di sisi pusara
ketika galau yang menggunung
mencambukku untuk kembali bersama
bercanda pada suatu masa
kala aku masih bergelayut manjah di pundak legammu

jangan lupa kampung lahirmu, ketika ramadan ketiga, pertama kau jeritkan tangis, hingga menembus hutan segala hutan, menyisir dinding-dinding Endikat, hingga ke bukit  Selepah yang jauh berjejer memangari alam-sepanjang bukit barisan-melintang sepanjang Sumatera

Biarkan rindu sendu kampung halamanmu, meski dengan suara serak , bertadut dan berejung membaca nasib. Mewarnai langit, gunung, hutan dan air, yang abadi dalam pepantun dan andai-andai sepuh di bibir masa lalu

Ya,
dalam kaca tetap kurapal wajah
dan petuah nenek moyang-Kedum Tengah Laman yang mendaras di nadi merahku
meski langkahku menjauh,
tetap surut ke belakang
tuk kembali ruah dalam rinduku
yang tak pernah parai 
                              

  /Tanah Besemah, 20 Agustus 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar