Rabu, 13 Februari 2013

KABAR UNTUK UMAK







Mak,
Aku datang tepat di bulan pasi
meyusuri luangluang yang jauh tertinggal
dalam langkah kerab kanakkanak
yang terhapus debu

Aku kehilangan wajah kota hujanku,
yang dulu kerap membuat darahku beku
Aku kehilangan wajah kota kabutku
yang dulu selalu membasuh wajahku
Aku kehilangan kota laluku
yang dulu bersahaja;
saling sapa ramah
berhias becak yang meliar
 gerobak sapi
yang melenguh membawa sayur dan buah

Umak,
Aku rindu lambaian cemara di sisi liku Lematang Indah
Cicit beburung yang becanda gembira
Auaman anak harimau
dan jeritan enggang menabuh didinding-dinding cadas
menderu,
bersama ayek baghu yang mengucur dari puncak bukit

Mak,
jaman telah mengubah langit biruku menjadi merah
desir dingin angin telah kehilangan arah
tak lagi munculkan suara musik gemerisik
babaspimpas
di tangan-tangan besi yang tak punya warna hati



Umak,
Aku datang tepat bulan pasi
di kampung peradaban
dimana ambisi dan nurani tak bisa lagi dipasati


                                     /Tanah Besemah, 20 Agustus 2012


SEBAIT PUISI KAMPUNG LAHIRKU




Senyum yang menyembul di ufuk timur
tak seberapa hangat menyapa
berbeda
kala wajah bersahaja belum berlumur liat tanah

kurenda doadoa
kuhembus pelan di sisi pusara
ketika galau yang menggunung
mencambukku untuk kembali bersama
bercanda pada suatu masa
kala aku masih bergelayut manjah di pundak legammu

jangan lupa kampung lahirmu, ketika ramadan ketiga, pertama kau jeritkan tangis, hingga menembus hutan segala hutan, menyisir dinding-dinding Endikat, hingga ke bukit  Selepah yang jauh berjejer memangari alam-sepanjang bukit barisan-melintang sepanjang Sumatera

Biarkan rindu sendu kampung halamanmu, meski dengan suara serak , bertadut dan berejung membaca nasib. Mewarnai langit, gunung, hutan dan air, yang abadi dalam pepantun dan andai-andai sepuh di bibir masa lalu

Ya,
dalam kaca tetap kurapal wajah
dan petuah nenek moyang-Kedum Tengah Laman yang mendaras di nadi merahku
meski langkahku menjauh,
tetap surut ke belakang
tuk kembali ruah dalam rinduku
yang tak pernah parai 
                              

  /Tanah Besemah, 20 Agustus 2012



SUBUH BASAH





Kubawa tubuh rebah mengupas  lelah
di atas roda besi yang membawaku pergi
menari
meliuk
meninggalkan kabut berhujan kota kecilku



Angin pagi mengintip malu,
menyapaku dengan mata sendu
menitip lagu angin  dibantaran hijau daun
singgah di atas tanah asing untukku

kujajak liku jalan becek subuh ini
berderit di atas roda tua
menyusur Sudirman dengan legah



Gran Nikita
langkah terhenti;
“Selamat datang pejuang muda
Lukislah dunia dengan aksara
Yang akan diwariskan pada anak cucu
menunggu sendu abdimu”





/Prabumulih, 4 Desember 2012



RINDU UNTUK AYAH

















Telah kuhitung hingga jari ke dua ribu dua belas,  ayah
ketika sebiduk merapat
mengusir serpihan-serpihan kecil yang berserak
mengulumnya  jadi untaian masa lalu
ya yang berlalu
saat pucuk-pucuk kopi kita tersenyum gembira
berbunga putih
meliuk sebar aroma saban pagi

Telah kuhitung hingga jemari ke dua ribu dua belas,   ayah
Ketika senja mulai tersunting
Bercerita segala;
tentang  dangau  kita di tepi sungai
yang rincah bercanda mencium batu
tentang derit pelupuh  yang mencacah jiwa
melabuhkan lelah
setelah seharian lecah menyungkil lacak di ladang kita

Telah kuhitung hingga jemari ke dua ribu dua belas,   ayah
Meski berapa purnama terlewati
Menyisir setapak dan pematang kita yang serut

/Lubuklinggau, 2012