Rabu, 14 Mei 2014

JEJAK-JEJAK MENUJU PULANG



(Syair)
Tuan  puan bijak bestari
Sahabat hati pelipur lara
Dari Sumatera datang ke mari
Hendak berbagi kisah nan lama

Sepincang langkah menuju kampung lahirku
berbenak-benak kulukis dalam rupa;
tentang tadut dan ringitnya yang gayaumayau
tentang senjang dan rejung yang menggayung
tentang mantra yang terlupa
tentang syair,   andai-andai , memuning yang hilang  makna

(Rejung):
Kayu aghe  iluk ndek tiang
Bebuah sutiq lah umban pule
Amu lah lengit seni sebatang
Oi enduk badan kah jangkap pule

Mak,  rejungku munguap di bukit-bukit
Karena rimbun daun telah berganti menjadi ladang dan penghunian
Terhempas di dinding-dinding tembok
Berirama chachachichi
Jauh
Tanpa derai batang hari sembilan yang mendayugayau
Tanpa derai merairai
Gamang antara hati dan peradapan

Mak, tadut kita menyelip di ranting-ranting
Terdampar di batu-batu
Di lereng, bukit, gunung, di semak-semak teh
menghampar  kering menggeranting
Lalu
Jejak-jejak membawaku pulang, menggunung gelisah;
Berbakul, berkinjagh, berurungan
Aku takut mak, setahun sepuluh tahun seratus tahun
Dindang dusun nyelayak tak tahu tujuan
hilang

(Tadut):
Empuk aku lah tekelap panjang .Tadut sutek lah dek tedepang
Lah diq teghingat ngah pesan bapang. Jangan lengit seni dikale, empuk lah sampai ke negeri jeme Nghindu ngah dusun makitu pule, pesan nining janganlah lupe;Langkah pincang panjang-panjang, batak baliq kandiq diqberdiq. Jurai Besemah makitulah pule, jangan lekang li kene panas, jangan lapuk li kene ujan. Dimane bumi dipijak, disitu pule langit dijunjung itulah pesan nining di kale

Oiii...Mak
Aku harus melakukan apa, jika senyap bumi telah berubah?
Haruskah aku menangis,menjerit, berteriak selantang-lantangnya
Di atas bukit Barisan dan gunung Dempo yang kehilangan keperawaanya
Kehilangan keangkuhannya
Tertunduk mengulai di tangan adik-adikku yang durhaka
Atau ini salahmu, Mak
Mengapa hanya menjadikan rejung, tadut, dan ringitan, sebagai andai-andai pengantar tidur
Hingga kami tak kenal lagi langgamnya yang gayaumayau?
Hingga kami hanya kenal nama dan  maknanya
Hingga kami hanya berkata dulu, disini subur lisan kita;
Dipakai dalam bagu’an dan kelayuan
Kaya falsafah tentang hidup
Syiar-syiar pencerah jiwa
Itu dulu
Dulu sekali, Mak

Jejak-jejak pulangku
Kubawa sebakul lisan dusunku, tanpa kijagh atau bake ghunghungan
Karena semuanya hanya tinggal kenangan
Mak, aku pulang

/Pagaralam-Besemah,  21 April 2014




Minggu, 11 Mei 2014

SEHARUSNYA



Harusnya engkau tidak perlu tahu tentang sayap-sayap yang patah
Karena hanya akan melahirkan perasaan ibah, dan kau pun akan terseret pada arusnya
Harusnya engkau tetap biarkan aku berkubur pada luasnya laut
Cukup kau nikmati derai ombak, angin, camar, dan desau cemara yang senantiasa menyairkan lagu-lagu sendunya
Ah, aku telah berdosa memaksamu untuk mengerti dan paham aku
Sebab esok kau akan bosan, lalu menelantarkan aku seperti pandan berduri yang terkulai pada tangkainya.




 @Salam cinta; sahabat, saudara, kekasih.Rafflesia, 12 Mei 2014

AKUPUN BERLABUH

Kau benar
selayaknya aku tegar
Seperti karang-karang yang pernah kita titi di Sungai Suci
Menjadikan mayar-mayar kecil sebagai lentera hidup
Lalu meniti kegelapan dengan lantang terang
Tapi ke laut mana harus kukubur, sementara langit senatiasa melukis tentangku?
Aku tak pernah mampu bercerita kecuali pada angin
Lalu iapun akan mengembalikan dengan derai air mata
Gemuruh ombak, adalah nyanyian alam yang jauh menyeretku ke samudera
Mengombang-ambingkan rasaku yang sangat kau tahu
Duh, jangan kasihani aku meski kau tahu jerit perih luka hatiku
Di pucuk senja, entah darimana asalnya
jiwa beradu pada buritan yang kau biarkan terluka
hingga anginkupun berlabuh di sana



@Rafflesia, 10 Mei 2014


LUKISAN SURAM



Serumpun senja bercerita tentang langkah pandakku yang melesap di pasir putih
Jiwa ringkihku menangis, ketika satu persatu butir-butir itu mengajakku bermain pada rasa
Sudah kukatakan pada langit, aku tak kuat
Terlalu banyak serpihan-serpihan menyakitkan, carut-marut terlukis di sini
Aku harus berteriak pada siapa lagi? Pada hujan? Pada bulan? Pada angin? Atau pada ombak? Sementara perahuku berlayar tanpa irama
Bermain di atas “tuts” yang mati rasa
Sudah kubentang layar selebar-lebarnya
Tapi angin Barat, Timur, Utara dan Selatanpun  tak  hendak  diajak bercanda

Ya, hanya pada awan yang turut berwarna suram, terpaksa membalutku lalu mencoba menyebarkan kehangatan

Bintang, dimana dikau? 
Akankah sepanjang tapak yang tertinggal kembali melukis pepasir dengan warna-warna kelam?


@Rafflesia 12 Mei 2014