Jumat, 15 Agustus 2014

CERITA PADA TUN 5




Tun
pagi baru saja putik
ketika kuncup enggan bermekar
lalu mengapar  di kabut-kabut

Akupun telah kehilangan lelap, Tun
untuk kupetik setangkai mimpi
yang akan kupersembahkan padamu hari ini

Tun

/Lubuklinggau, 15 Agustus 2014


Kamis, 14 Agustus 2014

KEPADA PUTIKKU


 /1/
Sudah waktunya, aku harus membiarkan perahumu berlayar mengarungi laut lepas, anakku. Kembangkan layar, arahkan angin menuju pulau impianmu. Jadikan debur ombak, derai hujan, dan kencang angin sebagai sahabatmu. Gulunglah sekoci, kala badai menerjangmu. Kau harus cekatan,manis. Arahkan kompasmu pada kiblat yang akan menuntunmu hingga ke tepian. Bentangkan sajadah, sujudlah. Karena di sana beribu aksara yang harus kau jadikan matra jiwa. Berlayarlah.

 /2/
Ah, pintu sepi itu mulai meruak, menyajikan aroma kerinduan yang tak hanya berputik, namun telah mekar meraya-raya. Selanjutnya laut, bukit, gunung, dan hutan akan mendawai sendu dalam waktu yang lama, entah berapa purnama, mungkin berpuluh hingga menetaskan tahun. Tapi aku dan kau harus belajar pada rumpun bambu. Meski diterpa angin dan hujan, namun tetap bertahan dan gemulai dengan akar yang berpaut teguh.

/3/
Kita tengah menikmati sepi yang menari di tiang-tiang, langit-langit, rumpun kembang, jalan kecil, yang melorong di hati kita. Lalu angin malam akan mengantarkan kerinduan, selanjutnya kita muarakan untuk bersegera sua. Jagan hiasi kunang-kunang dengan tangis. Tapi tersenyumlah, kerlip tubuhnya adalah isyarat denyut jantung yang harus kita jaga

/4/
Bentangkan sauh, jaringlah matahari. Mekarkan impianmu, manisku. Bukankan kita telah siapkan warna-warni yang akan kita kuaskan pada dinding-dinding hari? Kita akan lukis siang dan malam dengan tasbih, tahmid, dan tahlil. Kita akan lukis hati kita dengan kalimah Laa Ilaaha Illallah  


/Silamparai, Agustus 2014 


 

Senin, 11 Agustus 2014

BINTANG KEMUKUS, BIDADARIKU





/1/
Bidadariku,hamparan padi di sawah kita masih menguning. Kita nikmati riang pipit yang terbang ke sana ke mari, berteriak gembira menyambut bernas padi. Di beranda dangau kita, kita tunggu malam tiba.Karena kemukus akan berbagi dengan cahayanya, dan hinggap di bubungan rumbia dangau kita. Maka tersenyumlah.

/2/
Bidadariku, malam ini ku Ingin kecup keningmu, membelai rambut dan punggungmu, lalu membiarkan tangismu kembali tumpah di dadaku. Ini baru perjalanan kecil sayang, masih panjang tapak yang harus kita titi. Tidakkah kau lihat perjak kecil yang hinggap di pohon sawo halaman rumah kita? Meski tak dapatkan ulat dan serangga untuk dimakannya, suaranya masih nyaring merdu, menyanyikan lagu alam terindahnya. Sebagai ungkapan jiwanya yang tak pernah kosong. Mari, kita sujud.. Karena tangis yang paling baik adalah tangis ketika kita bersyukur atas apa yang diberikanNya pada kita.

/3/
Bidadariku, tersenyumlah. Matahari masih masih bersinar bukan? Meski sedikit mendung, namun tetap memberikan kehangatan. Lihatlah. Burung-burung kecil di pucuk daun salak masih rincah terbang ke sana ke mari. Meski pohon itu berduri, sang induk masih sibuk membuat sarang di sela daun, untuknya bertelur, mengerami, lalu menetaskan anak-anaknya. Generasi yang kelak akan menjadi penerusnya. Bidadariku, alam telah banyak memberi pelajaran. Untuk kita. Untuk orang-orang yang berpikir. Mari, kita melangkah sedikit saja, untuk membaca alam berikutnya.


/Silampari, 9 Agustus 2014