Namaku
Angeline, aku tak pernah mengharapkan
lahir dari rahim kemiskinan bapak ibuku. Tak kupinta untuk hidup menjalani masa
kecilku di bawah tekanan dan derita. Apalagi menjadi tumbal nafsu binatang dari
orang-orang dewasa di sekitarku
Angeline namaku, gadis kecil dan kotor, hidup sekandang dengan hewan. Aku tak sempat menikmati
mimpi-mimpi kecil masa kanakku; bermain boneka, petak umpet, atau bercanda
dengan kawan-kawan sebayaku. Saban hari
aku harus bergumul dengan pakan ternak orang tua yang mengaku ibuku. Ibu yang tak pernah
kurasakan hangat rahimnya. Kecuali menganggapku sebagai parasit, dan pekerja di
rumahnya yang mewah.
Akulah
Angeline. Yang membuat catatan hitam di negeri yang bernama pulau Dewata. Pulau
surga yang berangin lembut, berpantai indah,
berlaut teduh. Negeri para dewa dewi
yang menghamparkan bebatuan, menggerlapkan dolar. Negeri yang
membesarkan aku hidup selayak sampah,
berlumur kotoran ayam yang kukikis dari jemariku yang kecil
Namaku Angeline, gadis
kecil berambut lurus, berbola mata hitam. Aku tak pernah dapat menolak hidup
yang menakdirkanku pada tekanan yang tak kupaham. Mahkota kecilku dirampas, akupun
dibiarkan membusuk di bawah pohon pisang, di liang kecil dan melebam, tanpa taburan kamboja, dan doa. Hanya ciap
dan kokok ayam saja yang menjadi saksi, tentang kekejaman orang-orang dewasa, yang mengharapku
tiada
Namaku Angeline, selayak bidadari, semua mata berpusat padaku.
Aku menjadi canang yang merembes dari
darah bekuku
Akulah Angeline, gadis kecil yang tak mampu melawan takdir. Biarkan aku pergi.
Karena pintu surga lebih dulu menjemputku
Izinkan aku berlari-lari kecil di antara seribu
bunga dan kupu-kupu.
Ya, Angeline namaku
/Lubuklinggau, 19 Juni 2015